Indogamers.com - Halo Gamers! Saya yakin banget kamu pasti pernah menemukan sebuah game yang saking bagus kualitasnya, sampai kamu bingung kenapa game itu nggak jadi blockbuster global yang dibicarakan semua orang. Fenomena game bagus tapi gagal di pasaran ini sayangnya sering terjadi.
Alasannya bukan karena game-nya jelek, tapi karena berbagai faktor eksternal yang konyol; mulai dari waktu rilis yang kacau, promosi yang minim, hingga keputusan publisher yang nyeleneh.
Di artikel ini, kita bakal membedah 10 game yang harusnya bisa jadi bintang besar, tapi nasibnya berkata lain. Yuk, langsung aja kita bahas tragedi-tragedi paling absurd di industri game ini!
1. Titanfall 2
Game ini adalah contoh klasik dari sebuah produk FPS sempurna yang "dibunuh" oleh tanggal rilisnya sendiri. Bayangkan, kamu disuguhkan First-Person Shooter dengan gerakan parkour yang sangat mulus, campaign cerita yang emosional dan keren (terutama misi Effect and Cause yang legendaris), serta multiplayer yang segar dengan robot raksasa. Sayangnya, EA merilisnya tepat di minggu yang sama dengan dua raksasa: Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare. Meskipun gameplay Titanfall 2 sangat responsif dan membuat kamu merasa seperti pilot robot sejati, eksposurnya tertutup total oleh dua raksasa tersebut, membuat penjualannya jauh di bawah target karena kesalahan timing yang fatal.
2. Sleeping Dogs
Sleeping Dogs terasa sangat otentik dengan sistem pertarungan jarak dekat (martial arts) yang memuaskan, cerita penyamaran polisi yang seru, dan nuansa malam Hong Kong yang sangat stylish dan padat. Dunia game-nya terasa hidup, menjadikannya game open world yang punya identitas kuat. Namun, nasib penjualannya tidak ikut bersinar karena minimnya marketing dari Square Enix yang saat itu terlalu fokus pada proyek besar lainnya. Sebagai IP baru, Sleeping Dogs kesulitan bersaing di era dominasi GTA dan Saints Row yang sudah punya basis fans fanatik, sehingga meskipun pemain yang mencoba merasa puas, angka penjualannya tetap jeblok.
3. Spec Ops: The Line
Dari sampul luarnya, game ini terlihat seperti military shooter generik dengan tentara berotot dan ledakan standar. Ironisnya, strategi marketing-nya justru memperkuat kesan membosankan tersebut. Namun, begitu dimainkan, kamu akan menemukan cerita mendalam tentang trauma psikologis, moralitas yang hancur, dan keputusan berat yang memaksa pemain bertanya ulang tentang arti kepahlawanan. Masalahnya, game ini masuk ke pasar yang salah dengan kemasan yang salah. Banyak pemain yang mencari kesenangan tembak-tembakan ala Call of Duty justru mendapat "tamparan" psikologis yang berat, membuat penjualan awalnya sepi total.
4. Dishonored 2
Game ini diciptakan untuk gamer yang menyukai stealth kreatif, dunia steampunk yang elegan, dan kekuatan supernatural yang memungkinkan 1000 cara penyelesaian misi. Secara kualitas, desain level dari Arkane Studios ini jauh lebih baik dari seri pertamanya. Namun, publik tidak sempat menyadari kehebatan ini karena Bethesda memiliki kebijakan aneh saat itu: tidak memberikan salinan ulasan (review copy) ke media sebelum hari rilis. Gara-gara marketing yang terlambat ini, Dishonored 2 kehilangan momentum awal (buzz) yang krusial. Ditambah genre immersive sim yang niche, penjualannya kalah jauh dari judul AAA lain di tahun yang sama.
5. Prey (2017)
Masalah utama game jenius ini terletak pada namanya. Judul "Prey" membuat banyak orang mengira ini adalah sekuel atau remake dari game Prey lama (2006) yang bertema pemburu alien. Padahal, Prey (2017) adalah immersive sim sci-fi yang cerdas, memberikan kebebasan gila kepada pemain untuk memanipulasi sistem gameplay lewat sihir alien, gadget, atau trik unik (seperti berubah menjadi cangkir!). Branding yang salah ini menyesatkan audiens; gamer yang mencari horor murni kecewa, sementara gamer taktis tidak pernah tahu bahwa ini adalah game impian mereka. Akibatnya, penjualannya jatuh karena salah target pasar.
6. Alan Wake
Alan Wake memiliki identitas yang kuat sebagai supernatural thriller kelas atas dengan suasana mencekam dan penceritaan ala novel Stephen King. Sayangnya, nasib rilisnya sangat apes. Game ini masuk ke pasaran di hari yang sama persis dengan Red Dead Redemption pertama, yang saat itu merupakan event global besar-besaran di industri game. Meskipun Alan Wake punya ulasan bagus, atmosfer kuat, dan cerita menarik, skalanya yang lebih linear jadi tenggelam total di tengah perayaan cowboy open world yang merajai berita gaming saat itu.
7. Mirror's Edge
Game ini sebenarnya revolusioner, memperkenalkan parkour sudut pandang orang pertama (first-person) yang lincah di tahun 2008 dengan visual kota putih bersih yang ikonik. Masalahnya, ide besarnya terlalu maju untuk zamannya. Di saat pasar FPS sedang naik daun dan semua orang mencari adrenalin lewat senapan mesin, Mirror's Edge datang dengan konsep lari, lompat, dan minim tembak-tembakan. Mayoritas gamer terkesan dengan konsepnya tapi ragu untuk membelinya. Ini membuat game ini menjadi produk yang "dipuji tapi gagal dibeli", akhirnya hanya menjadi Cult Classic.
8. Psychonauts
Gaya dan ide Psychonauts tidak mirip dengan game lain; kamu bermain sebagai Raz yang masuk ke dalam pikiran orang gila, di mana setiap level adalah representasi kondisi mental seseorang yang unik, lucu, dan kreatif. Namun, inovasi segila ini membutuhkan promosi besar agar orang paham, dan Psychonauts tidak mendapatkannya sama sekali. Marketing-nya hampir nihil, distribusi fisiknya bermasalah, dan publisher saat itu tidak punya minat serius mendorongnya. Hasilnya, penjualan awal sangat buruk dan hampir membuat developer Double Fine bangkrut, padahal kualitasnya jenius.
9. The Evil Within 2
Secara kualitas, sekuel ini jauh lebih matang dari game pertamanya. Dengan dunia semi-open yang membuat eksplorasi horor lebih bebas, pertemuan musuh yang terukur, dan cerita ayah-anak yang lebih fokus, ini adalah survival horror yang solid. Namun, kasusnya langka: hampir tidak ada yang tahu game ini rilis karena Bethesda hampir tidak melakukan marketing sama sekali. The Evil Within 2 datang tanpa suara ke pasaran, membuat para penggemar seri pertama pun baru menyadari keberadaannya bertahun-tahun setelah rilis, padahal ulasannya sangat positif.
10. Okami
Game ini adalah mahakarya visual sejati, dengan gaya seni cel-shading yang menyerupai lukisan tinta Jepang yang bergerak. Gameplay-nya menggabungkan aksi, puzzle, dan mekanik melukis menggunakan "kuas surgawi" yang inovatif. Sayangnya, Okami terjebak di masa transisi konsol yang kejam. Ia dirilis di PlayStation 2 tepat saat hype PlayStation 3 sedang tinggi-tingginya dan gamer sudah mulai menabung untuk pindah ke generasi baru (HD). Meskipun ulasannya memuja game ini, penjualan Okami sangat rendah karena ia terperangkap di generasi yang salah pada waktu yang salah.
Penutup
Nah, itu dia 10 game yang kualitasnya luar biasa, tapi nasib penjualannya harus kandas. Tragedi-tragedi ini membuktikan bahwa kualitas itu penting, tapi di industri game, timing yang apes, marketing yang buruk, dan keputusan aneh publisher seringkali lebih menentukan nasib daripada isi game-nya sendiri.
Menurut kamu, game mana yang paling kasihan dan seharusnya bisa sukses besar? Sampai ketemu di kisah-kisah unik di balik industri game berikutnya!***