Candu Kekerasan dan Batas Realitas, Bedah Fenomena Violence Entertainment dan Tragedi SMAN 72

Candu Kekerasan dan Batas Realitas, Bedah Fenomena Violence Entertainment & Tragedi SMAN 72(FOTO: freepik.com)

Indogamers.com - Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa Grand Theft Auto (GTA) menjadi salah satu produk hiburan tersukses sepanjang masa? Meskipun bertahun-tahun tanpa judul baru, franchise ini tetap menjadi "mesin uang" dengan valuasi industri game yang kini melampaui gabungan industri musik dan film.

Namun, di balik angka triliunan rupiah dan kesenangan maya tersebut, terdapat pertanyaan yang kian mendesak pasca-tragedi November 2025: Apakah kekerasan yang kita konsumsi di layar kaca hanya sekadar hiburan, atau bensin yang siap menyambar api?

Mengapa Kekerasan "Laku Dijual"?

Secara ekonomi, violence entertainment adalah bisnis raksasa. Biaya produksi GTA V mencapai USD 265 juta (sekitar Rp4 triliun), namun balik modal dua kali lipat hanya dari fase pre-order. Pola ini juga terjadi di industri film, di mana 9 dari 10 film terlaris dunia (seperti Avengers atau Star Wars) mengandung unsur kekerasan—serta industri olahraga tarung bebas (UFC/Tinju).

Psikologi di balik larisnya genre ini didasarkan pada tiga hal:

  1. Sensasi "Break The Rules": Game open world memberi kebebasan mutlak tanpa konsekuensi hukum, sebuah sensasi yang mustahil didapat di dunia nyata.

  2. Hiburan dari Penderitaan: Secara naluriah, ada sisi manusia yang mendapatkan stimulasi adrenalin saat melihat aksi pertarungan atau situasi berbahaya (fiksi).

  3. Validasi Emosi: Bagi sebagian orang, konten ini dianggap mewakili perasaan mereka yang terpendam atau memberikan "pelajaran bertahan hidup" yang tidak diajarkan sekolah.

Ketika Layar Menjadi Nyata: Studi Kasus SMAN 72 Jakarta

Teori bahwa "kekerasan di layar memengaruhi perilaku" sering kali diperdebatkan. Namun, ledakan bom di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025 menjadi bukti kelam ketika teori tersebut bermanifestasi menjadi kenyataan.

Kasus yang melukai 96 orang ini memberikan pelajaran pahit tentang bahaya violence entertainment yang tidak terkendali:

1. Runtuhnya Teori Katarsis

Banyak gamer berargumen bahwa game kekerasan adalah katarsis (pelampiasan emosi yang aman). Namun, pada pelaku peledakan SMAN 72 (Siswa, 17 tahun), mekanisme ini gagal total. Pelaku yang merupakan korban perundungan (bullying) dan merasa terisolasi, tidak menemukan ketenangan setelah mengonsumsi konten kekerasan. Sebaliknya, konten dari dark web, komunitas true crime, dan video perang yang ia konsumsi justru memvalidasi dendamnya. Bagi jiwa yang sedang terguncang, kekerasan digital bukan lagi "pembuangan emosi", melainkan sudah menjadi semacam "tutorial".

2. Hilangnya Empati

Dalam video Youtube Satu Cerita menyebutkan risiko "kurang peka terhadap rasa sakit". Hal ini terlihat jelas pada pelaku SMAN 72. Paparan intensif terhadap konten sadis (gore) dan figur teroris global (seperti Brenton Tarrant) membuat empatinya tumpul. Penderitaan teman sekolah dan gurunya tidak lagi dilihat sebagai tragedi, melainkan sebagai "pencapaian" layaknya menyelesaikan misi dalam game.

3. Inspirasi yang Salah Arah

Di lokasi kejadian, ditemukan senjata mainan yang bertuliskan nama-nama tokoh terorisme dunia. Ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara fiksi dan realitas bagi pelaku. Ia meniru apa yang ia tonton, mengubah fantasi digital menjadi teror nyata menggunakan bom rakitan berdaya ledak rendah namun mematikan secara psikologis.

Jalan Tengah: Pragmatisme dan Pengawasan

Lantas, apakah memblokir semua game dan film aksi adalah solusinya? Wacana pemerintah untuk memblokir total mungkin terdengar logis, namun belum tentu efektif menyentuh akar masalah.

Kita harus melihat ini secara pragmatis:

  • Mayoritas Konsumen Aman: Jutaan orang bermain GTA atau menonton film thriller tanpa pernah melakukan tindak kriminal. Bagi mereka yang sehat secara mental, ini tetaplah hiburan.

  • Faktor Pemicu Utama: Tragedi SMAN 72 tidak berdiri sendiri karena game/internet. Ia adalah akumulasi dari krisis kesehatan mental, perundungan yang diabaikan sekolah, dan kesepian (loneliness). Konten kekerasan hanyalah katalisatornya.

Kesimpulan

Violence entertainment memang menguntungkan secara bisnis dan menghibur bagi banyak orang. Namun, kasus SMAN 72 Jakarta adalah alarm peringatan yang nyaring.

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan industri game, tetapi kita juga tidak bisa naif menutup mata. Ketika seorang anak mulai menarik diri dari lingkungan sosial dan menjadikan kekerasan digital sebagai satu-satunya "teman", di situlah orang tua dan sekolah harus segera mengintervensi, sebelum tombol restart di dunia nyata tidak lagi bisa ditekan.***

Tags :
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI