Indogamers.com - Gamer mana yang tidak kenal Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba? Aksi Tanjiro dkk. selalu menjadi pembicaraan, terutama setelah film Infinity Castle: Part 1 meledak di bioskop global, memecahkan banyak rekor box office dan menjadikannya salah satu film terlaris tahun 2025.
Sayangnya, kesuksesan monumental ini menciptakan tren yang, menurut beberapa pihak, justru merugikan industri anime secara keseluruhan. Ini seperti sebuah game yang tiba-tiba menemukan formula pay-to-win yang sangat efektif, mengubah cara semua orang bermain.
Berikut adalah 5 poin utama mengapa Demon Slayer: Infinity Castle mengubah industri anime menjadi lebih "berisiko":
1. Arc Penting Jadi Konten Bioskop, Fans Dipaksa Move ke Layar Lebar
Ini adalah masalah terbesar! Demon Slayer mempopulerkan tren mengadaptasi story arc kanon (penting dan tidak bisa dilewatkan) dari manga menjadi film bioskop, bukan serial TV.
Dulu: Film anime biasanya bersifat non-canon atau filler (cerita sampingan), seperti event musiman di game yang boleh dilewatkan.
Sekarang: Film seperti Mugen Train dan Infinity Castle adalah inti cerita. Ini memaksa para fans untuk membayar tiket bioskop jika ingin mengikuti alur cerita tanpa jeda, yang terasa seperti membayar mahal untuk DLC wajib.
2. Studio Lain Tergoda Mencari "Emas" di Bioskop
Fenomena box office $600 juta lebih yang diraih Infinity Castle membuat studio lain ngiler. Mereka melihat film sebagai mesin uang yang lebih cepat dan besar daripada serial TV musiman.
Risikonya: Studio-studio kini mungkin mengorbankan adaptasi serial anime yang stabil (yang tadinya bisa kita tonton santai di rumah) demi mengejar keuntungan besar lewat rilis teater. Ini bisa membuat konten di layanan streaming menjadi lebih sedikit dan kurang "berisi."
3. Menghilangnya Kesabaran Menunggu Tayangan Streaming
Dulu, penonton bisa tenang karena tahu film anime akan tayang di layanan streaming atau rilis fisik dalam waktu yang relatif cepat. Namun, film sekelas Infinity Castle tidak akan tayang streaming dalam waktu dekat—sebuah keputusan yang dimotivasi murni oleh uang.
Kutipan Industri (Paraphrase): Produsen film memiliki insentif kuat untuk memaksimalkan keuntungan selama film berada di bioskop, karena harga tiket jauh lebih besar daripada pendapatan dari biaya langganan streaming bulanan.
4. Tekanan untuk Replikasi Sukses, Mengorbankan Orisinalitas
Keberhasilan Demon Slayer sangat sulit ditandingi, bahkan oleh seri populer lain seperti Jujutsu Kaisen atau Chainsaw Man. Jika studio lain mencoba mereplikasi formula sukses Demon Slayer (animasi gila, emosi mendalam, dan action tanpa henti), mereka berisiko menciptakan lanskap anime yang kehilangan orisinalitas dan inovasi. Ini seperti semua developer game dipaksa membuat battle royale hanya karena satu game sukses besar.
5. Pengalaman Nonton "Berjamaah" Jadi Standar Wajib
Keberhasilan Demon Slayer menegaskan bahwa pengalaman teater itu penting—sesuatu yang tidak bisa ditiru di rumah. Mitchel, salah satu perwakilan industri, menyebut: "Untuk Demon Slayer, salah satu alasan mengapa ini bekerja dengan baik adalah kedalaman emosi dan resonansinya... [Pengalaman teater] benar-benar penting. Anda tidak bisa mereplikasinya di rumah."
Meski film ini sukses secara finansial, tren memaksa fans untuk menonton konten kanon di bioskop dan menunda rilis streaming dianggap sebagai perubahan yang tidak menguntungkan bagi penonton setia yang lebih memilih menonton di rumah.***
Sumber: https://gamerant.com/demon-slayer-infinity-castle-2025-changed-anime-industry-worse/