Indogamers.com - Stigma bahwa "Game bikin orang jadi kriminal" sudah seperti kaset rusak yang diputar terus-menerus setiap kali ada kasus kekerasan remaja. Sebagai gamer, kamu pasti gerah dituduh melulu. Tapi harus diakui, konten kekerasan eksplisit dan lingkungan komunitas yang toxic memang PR (Pekerjaan Rumah) besar yang belum selesai.
Daripada sibuk menyangkal, lebih baik kita bicara solusi. Bagaimana caranya supaya hobi kita ini tetap seru tanpa harus memicu agresivitas atau kriminalitas di dunia nyata? Ternyata, upaya "meminimalkan kekerasan" ini sedang digeber dari berbagai sisi.
Mari kita bedah upaya-upaya yang ada, mulai dari pajak "dosa" hingga AI polisi siber.
1. Pemerintah Mulai Tegas: Pajak Khusus hingga Rating Ketat
Pemerintah di berbagai negara mulai sadar bahwa memblokir game itu sulit. Maka, strateginya diubah: Pengendalian via Regulasi.
Contoh paling baru dan ekstrem datang dari Meksiko. Pemerintah di sana mengusulkan pajak tambahan sebesar 8% khusus untuk video game yang mengandung unsur kekerasan. (Referensi: Usulan pajak game kekerasan di Meksiko yang berdampak pada judul besar seperti GTA VI).

Filosofinya mirip seperti Cukai Rokok. Pemerintah Meksiko ingin mengirim pesan: "Kalau kamu mau mengonsumsi konten kekerasan, harganya mahal." Tujuannya agar akses terhadap game sadis menjadi lebih sulit, terutama bagi anak-anak yang daya belinya terbatas.
Di Indonesia sendiri, kita punya IGRS (Indonesia Game Rating System). Upaya meminimalkan kekerasan dilakukan dengan mewajibkan label usia. Game dengan adegan sadis atau gore wajib berlabel 18+. Jadi, kalau ada bocil main game GTA atau Mortal Kombat, itu bukan salah game-nya semata, tapi lolosnya pengawasan rating tersebut.
2. Developer "Nerf" Toksisitas dengan Teknologi
Developer game juga nggak tinggal diam. Mereka sadar kalau komunitasnya isinya cuma orang maki-maki dan ancam bunuh, game-nya bakal ditinggal pemain waras.
Upaya yang dilakukan kini makin canggih:
AI Voice Monitoring: Game seperti Valorant dan Overwatch mulai menggunakan AI untuk merekam dan mendeteksi voice chat yang mengandung ujaran kebencian atau ancaman kekerasan. Begitu terdeteksi, sistem langsung memberi sanksi.
Sistem Kredit Skor (Honor Score): Di Mobile Legends atau PUBG Mobile, pemain yang sering dilaporkan karena perilaku agresif/verbal abuse akan dikurangi skor kreditnya sampai tidak bisa main di mode Ranked.
Sensor Visual: Banyak game versi China atau Jerman mengubah warna darah dari merah menjadi hijau atau hitam untuk mengurangi dampak psikologis (desensitisasi) terhadap pemain.
3. Peran Kita: Dari "Bystander" Jadi "Peacekeeper"
Regulasi dan teknologi nggak akan guna kalau mentalitas pemainnya masih barbar. Upaya paling ampuh meminimalkan kekerasan sebenarnya ada di jempol kita sendiri.
Seringkali, kekerasan fisik di dunia nyata (tawuran antar pemain, pengeroyokan) bermula dari pembiaran di dalam game. Saat ada teman satu tim yang mulai rasis atau mengancam "gue cari lu!", kita seringkali diam saja atau malah mengompori.
Solusi dari komunitas itu sederhana tapi butuh nyali: Normalize Reporting.
Jangan kasih panggung buat pemain toxic.
Gunakan fitur Report semaksimal mungkin untuk ujaran kebencian.
Jangan bawa emosi in-game sampai personal.
Kesimpulan: Game Itu Hiburan, Bukan Arena Gladiator
Upaya menekan kekerasan dalam game bukan berarti menyulap semua game jadi Hello Kitty. Game aksi dan shooter akan tetap ada sebagai genre hiburan.
Namun, dengan adanya pajak pengendali (seperti wacana di Meksiko), sistem rating yang ketat, serta fitur anti-toksik dari developer, harapannya game kembali ke fungsi aslinya: Sarana rekreasi digital, bukan pemicu kriminalitas kriminal.
Yuk, jadi gamer cerdas. Main pakai skill, bukan pakai otot. Salam Indogamers!