Indogamers.com - Insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar kasus kenakalan remaja biasa, namun juga bukan aksi terorisme ideologis. Investigasi mendalam mengungkap sebuah anomali mengerikan: seorang siswa yang menerapkan logika taktis permainan perang (war games) ke dalam dunia nyata.
Dikutip dari Youtube Nusantara TV yang menayangkan Diskusi antara Eks Kadensus 88, Irjen Pol (Purn) Martinus Hukom, dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri, menyoroti bagaimana paparan materi kekerasan digital , yang identik dengan game bertema Battle Royale, berperan sebagai katalisator berbahaya.
1. Loadout Nyata: Senjata Penuh Catatan dan Baju Taktis
Indikasi kuat pengaruh game terlihat dari penampilan dan modifikasi alat yang dilakukan pelaku. Martinus Hukom menyoroti adanya catatan-catatan yang ditulis langsung di senjata dan baju yang dikenakan pelaku.

Dalam dunia game seperti game perang atau battle royale, pemain terbiasa melakukan kustomisasi senjata (skin atau attachment) dan memakai perlengkapan taktis (gear) untuk membangun identitas karakter mereka.
"Catatan-catatan di senjatanya dia itu, lalu kemudian baju yang dia pakai, itu membawa alam pemikiran kita... orientasi berpikir kita oposisi dari aspek psikologisnya dia," ujar Martinus.
Pelaku seolah sedang melakukan cosplay mematikan, membawa avatar digitalnya yang gagah dan berbahaya ke dunia nyata untuk menutupi jati dirinya yang asli: seorang anak yang merasa lemah, aneh, dan depresi akibat bullying.
2. Faktor Pengondisian : Sekolah sebagai Arena Pertempuran
Psikolog Forensik Reza Indragiri menggunakan teori Analisis Tiga Level untuk membedah ini. Jika level pertama adalah trauma bullying, maka level kedua adalah Faktor Pengondisian (Conditioning Factor).
Reza menyebut pelaku kemungkinan besar "berulang kali terekspose pada materi-materi kekerasan, materi herisme."
Dalam konteks game tembak-menembak (First Person Shooter):
Desensitisasi: Pemain dikondisikan untuk melihat kekerasan sebagai solusi instan.
Heroisme Semu: Game sering menanamkan narasi "Lone Wolf"—satu orang melawan semua (seperti mode Solo vs Squad). Pelaku merasa menjadi "pahlawan" bagi dirinya sendiri yang sedang membalas dendam.
Pembelajaran Keliru: Proses belajar yang salah ini berlangsung terus-menerus di layar kaca, hingga otak pelaku gagal membedakan antara "menang di game" dan "melukai di dunia nyata".
3. Taktik "Kill Count": Memilih Lokasi untuk Dampak Maksimal
Poin paling mengerikan dari pengaruh logika game adalah cara pelaku memilih lokasi ledakan. Martinus Hukom menegaskan bahwa pelaku tidak menyerang simbol (seperti tempat ibadah atau kantor polisi sebagaimana ciri khas teroris ideologis).
Sebaliknya, pelaku menggunakan pertimbangan murni taktis dan strategis.
"Pilihan masjid ini hanya karena dia melihat satu serangan itu efektif apa tidak... kalau tidak warung, tidak restoran, tidak kantin, atau masjid, karena di situ berkumpul orang banyak," ungkap Martinus.
Ini adalah pola pikir gamer yang mencari Efektivitas Area of Effect (AoE). Dalam game perang atau battle royale, pemain akan melempar granat ke area sempit yang padat musuh untuk mendapatkan kill sebanyak mungkin.
Reza Indragiri menyebut ini sebagai Pertimbangan Strategis (Level 3):
"Kalau dilakukan pada jam tersebut di lokasi semacam itu, maka dengan sekali gebrak akan banyak korban yang bisa jatuh."
Pelaku tidak melihat teman-temannya sebagai manusia, melainkan sebagai "skor" atau target dalam simulasi pertempuran yang ia ciptakan sendiri.
4. Struggle for Recognition: Fantasi Menjadi MVP
Di balik aksi gagah-gagahan dengan bom rakitan, tersimpan jiwa yang rapuh. Martinus menyebut ini sebagai Struggle for Recognition (Perjuangan untuk Pengakuan).
"Dia frustasi, dia tercabik-cabik jiwanya, lalu dia ingin menunjukkan 'Saya tidak seperti itu'. Dia ingin menunjukkan dengan ekspresi lain, yaitu kekerasan," jelas Martinus.
Sama seperti pemain game yang mengejar status MVP (Most Valuable Player) untuk diakui kehebatannya, pelaku, yang di kehidupan nyata dianggap pecundang dan korban bully, menggunakan ledakan ini sebagai panggung untuk memaksa orang lain mengakui eksistensinya.
Kasus SMAN 72 menjadi bukti nyata betapa berbahayanya kombinasi antara depresi akibat bullying yang diabaikan, dengan pelatihan militer virtual yang didapat dari game kekerasan tanpa pengawasan.***






















